Tuhan Yang Maha Esa. Powered by Blogger.
RSS

budaya

Di dusun betek, Desa rejoso, kec.Binangun, kab.Blitar. Minggu, 27 november 2011, bertepatan dengan tahun baru hijriah dan tanggal 1 suro menurut penanggalan jawa. Yang diyakini orang jawa sebagai tanggal yang di anggap keramat. Banyak sekali peristiwa-peristiwa budaya yang yang dilakukan orang jawa pada tanggal ini. Siang itu kami rombongan karate mengikuti pawai dalam rangka kirab desa. Awalnya saya merasa kecewa mengikuti acara ini. Tetapi untuk mengobati itu semua saya mencari ilmu apa yang dapat saya petik dari kegiatan ini. Saya mencari berpikir kembali dari prosesi awal kegiatan ini.
                Acara pertama resmi di buka oleh wakil bupati blitar, bapak ryanto. Dan langsung dirangkai dengan pawai keliling desa. dari kacamata pengamatan saya, bahwa masyarakat desa ini sangat antusias terbukti sangat berpartisipasi langsung dan tak langsung. Misalnya mereka bertumpah ruah dipinggir jalan untukl menyaksikan kegiatan ini. Meskipun acara tingkat desa tapi terlihat sangat meriah. Karena di buka langsung oleh wakil bupati blitar. sealin mereka juga berpartisipasi menyediakan minuman di depan rumah mereka masing-masing. Hali ini mengingatkan saya pada sebuah cerita tentang kear9ifan pada zaman dahulu. Yaitu orang-orang selalu memasang kendi didepan rumah mereka masing-masing. Dan isi dari kendi itu adalah air yang ditujukan untuk orang yang kebetulan haus dan kehabisan bekal. Dan perilaku ini sudah tidak pernah saya temukan pada zaman modern seperti saat ini.
               Kemudian pada malam harinya di lanjutkan dengan tradisi TAYUB. Tetapi untuk acara ini saya tidak mengikuti. Asal mula istilah Tayub sendiri belum bisa dinyatakan secara
pasti. Menurut Prof. Dr. Poerbatjaraka, tayub memiliki kaitan dengan kata nayub,
berasal dari kata sayub yang berarti minuman keras. Dengan demikian tayub
berkaitan dengan suat u peristiwa yang melibatkan minuman keras. Ada juga yang
menyebutkan tayub berasal dari dua kata dalam bahasa Jawa yaitu mataya (menari)
dan guyub (rukun). Perubahan dari dua kata ini, ma-taya dan gu-yub membentuk
kata baru yaitu tayub. Menurut sebuah catatan dari Mangkunegaran tentang Prabu
Kano dari negeri Purwacarita, tayub merupakan bagian dari suatu aturan dalam
jamuan perkawinan yang disebut Badudakan berupa keharusan menari berpasangan
bagi keluarga pria dan wanita. biasanya sering diisi dengan mabuk-mabukan, joget-jogetan dengan penari wanita atau lebih dikenal dengan istila ronggeng atau ledhekTak lupa biasanya diselingi dengan sawer.
                Terlepas dari sisi negatifnya sebetulnya budaya ini semua banyak sekali mengandung pesan yang ingin disampaikan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Post a Comment